10 Album Gitar Terfavorit 2016

Nggak terasa, tahun 2016 telah berlalu. Dan dari 12 bulan yang kita lewati, ada banyak album berorientasi gitar yang telah dirilis. Baik dari band/gitaris lokal maupun mancanegara. Ini dia 10 album beroirentasi gitar 2016 terfavorit pilihan Admin Kord Gitar

1. Megadeth - "Dystopia"

Megadeth - "Dystopia"
Kehadiran gitaris asal Brazil, Kiko Loureiro ke dalam tubuh Megadeth benar-benar menambah daya gedor album "Dystopia". Bersama Dave Mustaine sang mastermind, keduanya berhasil melakukan penetrasi serangan gitar dari berbagai sudut. Dikawal oleh dua penjaga pondasi berbeda era, Dave Ellefson (bass) dan Chris Adler (dram), "Dytopia" mengukuhkan Megadeth di jalan yang lurus setelah sempat goyah pascakepergian gitaris Chris Broderick dan dramer Shawn Drover. Dengan sound yang lebih modern, komposisi harmoni yang dipadukan dengan kecepatan ala Megadeth kembali lahir. Ya, Kiko Loureiro mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pendamping sejati Dave Mustaine dalam menjaga sekujur musik Megadeth tetap fresh.

Hal menarik lain dari album ini adalah keberanian mantan gitaris Angra dalam memainkan piano di lagu "Poisonous Shadows" yang juga menampilkan orkestrasi karya Ron Huff, ayah sekaligus mantan produser Megadeth, Dann Huff. Dave Mustaine bahkan sampai sesumbar dengan mengatakan bahwa trek tersebut ibarat komposisi berhantu yang merupakan perpaduan Frederic Chopin (komposer asal Polandia, Red) dengan Megadeth. Bagi Kiko sendiri, menjadi bagian penerus tongkat estafet gitaris-gitaris profil tinggi yang pernah menghuni Megadeth tentu merupakan sebuah kehormatan. Dan rasa hormat itu telah dibuktikannya dengan menambahkan daya ledak dari energi kreatifnya yang membuat Megadeth tetap berada di puncak singgasana metal planet bumi.

Dirilis secara resmi sejak 22 Januari 2016 dalam format CD, vinyl dan digital via Universal Music Enterprises/Tradecraft/ T-Boy Records album ini menampilkan 11 lagu anyar untuk format fisiknya dan 13 lagu untuk versi iTunes-nya. Dengan arsitek musik dan visioner band sekelas Dave Mustaine sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengeksekusi musik dan lirik, "Dystopia" direkam di Nashville, Tennessee, dan dimixing oleh Josh Wilbur (Lamb of God, Gojira, Avenged Sevenfold).

2. Tohpati Ethnomission - "Mata Hati"

Tohpati Ethnomission - "Mata Hati"
Perpaduan jazz progressive dan nada-nada etnik menawan yang dihujani isian gitar distortif tersaji di sekujur album ini. Namun di beberapa treknya, seperti "Pelog Rock" misalnya, tetesan musik rock mengalir selaras dengan judulnya meski tetap dijejali lick-lick gitar yang jazzy. Tohpati juga tidak melulu memamerkan kepiawaiannya, tetapi memberikan porsi kepada soulmate-nya, Indro Hardjodikoro untuk ikut menyuguhkan part solo bass-nya di beberapa kesempatan. Seperti yang tersaji dalam "Tanah Emas".

Nafas rock di album ini benar-benar nyata ketika trek ketiga, "Janger" yang bernuansa etnik Bali dihiasi riff-riff gitar dengan kadar distorsi yang tegas. Pun dengan "Berburu" yang menempati slot kelima. Riff gitarnya begitu riuh kala diiringi gebukan dram dan pukulan kendang dari berbagai sisi. Selipan lick pentatonik di pertengahan lagu ini juga kian menambah warna. Tiga trek terakhir; "Reog", "Pangkur", dan "Amarah" bahkan ditampilkan dengan penuh daya tarik. Begitu jantan dan menggairahkan.

Sepanjang perjalanan karirnya, Tohpati memang telah menciptakan reputasi sebagai salah satu gitaris paling dinamis dalam musik jazz progresif. Dan melalui "Mata Hati", ia kembali membuat sebuah alasan kuat betapa layaknya ia berdiri di antara jajaran gitaris top dunia saat ini. Referensi dan pengaruh yang sempurna dari Terje Rypdal, John McLaughlin, John Scofield, dan Robert Fripp, telah membentuknya sebagai diri sendiri. Tohpati seakan mengumandangkan pemberitahuan kepada jagat gitar bahwa ia dan band Ethnomission-nya adalah kekuatan yang harus diperhitungkan di panggung musik dunia.

3. Metallica - “Hardwired... To Self-Destruct”
Metallica - “Hardwired... To Self-Destruct”
Metallica akhirnya melepas album yang paling ditunggu-tunggu umatnya, “Hardwired... To Self-Destruct” sejak 18 November 206 via Blackened Recordings. Seperti diduga sebelumnya, album ini langsung melesat ke posisi pertama tangga album Billboard 200 sekaligus menyusul kesuksesan yang pernah diraih oleh lima album mereka sebelumnya, "Death Magnetic" (2008), "St. Anger" (2003), "Reload" (1997), "Load" (1996) dan "Metallica" (1991).

"Hardwired... To Self-Destruct" sendiri merupakan album studio pertama sejak "Death Magnetic" yang berhasil terjual hampir mendekati setengah juta keping hanya dalam waktu tiga hari pasca-jendela penjualan dibuka secara resmi. Di dalam album ini bersemayam 12 lagu yang dibagi dalam dua keping cakra padat dengan durasi yang mendekati 80 menit. Prestasi lebih jauh, album ini bahkan mampu bertengger di posisi teratas di 5 negara sekaligus.

Selain dirilis dalam format CD ganda standar, album ini juga tersedia dalam bebagai versi mewah yang di dalamnya berisi sejumlah trek bonus termasuk sejumlah lagu yang di-cover di masa lalu semisal sebuah medley dari lagu-lagu Ronnie James Dio, "Remember Tomorrow" (Iron Maiden) dan "When A Blind Man Cries" (Deep Purple). Khusus versi mewahnya bahkan menampilkan sesi konser di Rasputin's, Berkeley, California pada Record Store Day 2016 dan versi konser dari lagu "Hardwired" yang direkam di US Bank Stadium, Minneapolis.

4. Jikunsprain
Jikunsprain
Setelah merilis singel pertama, "Malaikat Hitam" beberapa bulan lalu. Jiks, bersama proyek sampingannya yang dibentuk sejak 2007, Jikunsprain merilis album ketiganya yang bertitel sama di bulan Oktober 2016. Album berisi enam lagu tersebut tersedia dalam format digital di iTunes dimana selain trek titel "Malaikat Hitam" juga ada versi remake dari nomor lama milik legenda musik rock Tanah Air, God Bless, yang bertajuk "Rock di Udara". Sebuah lagu yang dicomot dari album debut self-titled God Bless rilisan 1975.

Selain Jiks pada gitar, formasi Jikunsprain terkini digawangi oleh Daeng Oktav (bass), dramer Richard Mutter (eks Pas Band) dan vokalis Sasongko (eks Umbramortis). Sejak terbentuk sembilan tahun lalu, Jikunsprain sendiri telah merilis dua album penuh berlabel self-titled (2008) dan “Sprained” (2009) dengan formasi yang berbeda-beda. Selain Daeng Oktav yang sudah menemani Jiks sejak album pertama, nama-nama seperti Andre Chilling (dram) dan Pongki Barata (vokal) serta Bima (dram) dan Megadalle (vokal) juga pernah singgah di band ini.

5. Testament - "Brotherhood of the Snake"
 
Testament - Brotherhood of the Snake
Selama lebih dari tiga dekade, kwintet Bay Area - Chuck Billy (vokal), Eric Peterson (gitar), Alex Skolnick (gitar), Steve DiGiorgio (bass) dan Gene Hoglan (dram) - secara konsisten telah menyuguhkan musik metal murni yang nggak terkendali dan tanpa kompromi. Sejak merilis album "The Legacy" dan "Practice What You Preach" hingga "The Gathering" sampai "The Formation Of Damnation" mereka nggak pernah menunjukan tanda-tanda menurunkan bobot. Dan pada tahun 2016 ini, mereka kembali membuktikannya melalui album "Brotherood of the Snake" (Nuclear Blast).

Album yang dirilis pada 28 Oktober 2016 ini direkam di bawah pengawasan produser Juan Urteaga (Exodus, Heathen, Machine Head), gitaris Eric Peterson dan vokalis Chuck Billy serta dimixing dan dimastering oleh produser metal asal Inggris Andy Sneap (Accept, Arch Enemy, Cradle Of Filth, Kreator, Machine Head, Megadeth). Untuk artwork cover-nya, sekali lagi dieksekusi oleh Eliran Kantor, yang juga mengerjakan artwork album terakhir Testament, "Dark Roots Of Earth" (2012) dan juga pernah bekerja dengan Hatebreed, Soulfly dan Kataklysm.

Proses penulisan album ini berawal ketika Eric Peterson dkk merampungkan tur panjang untuk mendukung "Dark Roots Of Earth" pada akhir 2013. Saat itu mereka mulai menulis lagu secara individual dan merakitnya secara organik. Dan selama musim semi 2016, mereka memasuki studio bersama Juan Urteaga dan dengan cepat merekam 10 lagu. Rencananya, setelah album ini dirilis mereka akan kembali menerjang jalanan bersama Amon Amarth untuk tur Eropa pada musim gugur tahun ini.

6. Power Metal - "Power Gold"

Power Metal - "Power Gold"
Lama dinantikan, Ipunk dan Lucky akhirnya kembali menghasilkan karya rekam berupa album penuh bersama band yang membesarkan nama mereka, Power Metal. Rilisan anyar bertajuk “Power Gold” ini dirilis secara independen dan menyuguhkan 10 komposisi yang ditetesi elemen-elemen metalcore dengan eksplorasi gitar yang kekinian.

Judul album yang dirilis secara resmi pada 23 Agustus 2016 ini memiliki filosofi yang menggambarkan perjalanan karir Power Metal. Seperti diakui Power Metal Fans Club, dengan rilisan 10 album dan idealisme yang konsisten dengan segala konsekuensinya, Power Metal sudah layak disebut legenda. Maka, pemilihan nama ‘gold’ yang berarti emas, amat layak disematkan kepada Ipunk dkk.

Keberadaan lagu berformat instrumental sendiri sudah dilakukan Power Metal sejak album pertama, “Power One” (1991) dirilis. Seakan menjadi tradisi, Ipunk dkk merasa kurang lengkap jika albumnya nggak dilengkapi dengan sebuah komposisi tanpa vokal. Album ke-10 ini sebenarnya sudah dibuat sejak tahun 2011. Tapi karena salah satu personel mereka - yang notabene penyumbang lagu terbanyak – hengkang, maka Ipunk memilih untuk nggak menggunakan seluruh lagunya demi menghindari permasalahan yang terjadi di kemudian hari.

7. Yngwie Malmsteen - "World On Fire"

Yngwie Malmsteen - "World On Fire"
Dengan menyuguhkan barisan komposisi musik neo-classical metal yang cepat, Yngwie Malamsteen memang masih berada di jalan yang lurus seperti sejak kali pertama menancapkan cakarnya di dunia musik internasional. Sayangnya, di album ini, Yngwie masih enggan merekrut vokalis dan seperti terjebak dalam 'zona nyaman' album sebelumnya, “Spellbound" (2012). Ia juga hanya menambahkan nama Nick Marinovic (kibord) dan Mark Ellis (dram) ke dalam daftar musisi yang membantu sesi rekamannya, dan memilih mengeksekusi isian bass seorang diri. Untungnya, metode penulisan lagu dalam album ini dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan range vokalnya, sehingga menjadi sedikit lebih baik dibandingkan "Spellbound". Setidaknya, Yngwie masih memikirkan salah satu elemen paling penting dalam musik.

Album ini didominasi nomor-nomor instrumental. Kecuali “World on Fire”, “Soldier” dan lagu mid-tempo “Lost in the Machine” yang menampilkan struktur lagu tradisional. Yngwie seakan masih ingin membuktikan, untuk kesekian kalinya, kepada dunia akan permainan gitar virtuoso yang dimilikinya, dimana kilatan part-part gitarnya masih tersaji di sekujur album ini. Bagi mereka yang menganggap dirinya gitaris dan terpengaruh oleh permainan Yngwie, tidak perlu khawatir karena gitaris asal Swedia ini belum mengurangi aspek teknis yang telah menjadi ciri khasnya. Yngwie, paham benar bagaimana cara membuat sebuah pintu masuk yang bisa membawa para pengagumnya menyelami petualangan bermain gitar yang mengesankan.

"World on Fire" masih menjadi ladang inspiratif bagi para pengagum Yngwie di seluruh dunia. Pergerakan jemari yang disuguhkannya di sekujur album ini begitu luar biasa. Akurasi dan presisi teknik fingering-nya juga masih menjadi yang terdepan jika dibandingkan dengan gitaris manapun. Yngwie Malmsteen adalah Nicolo Paganini modern yang konsisten dengan karya-karyanya. Kalau saja mau merekrut vokalis sekelas Mike Vescera, Mats Leven, atau Mark Boals, album ini pasti bakal lebih digdaya lagi. Kendati demikian, “World On Fire” tetap saja layak dikoleksi dan memenuhi rak CD para penggemar fanatik Yngwie Malmsteen di manapun berada.

8. Dewa Budjana - ”Zentuary"

Dewa Budjana - ”Zentuary"
Dewa Budjana semakin meyakinkan kiprahnya di pasar internasional. Gitaris senior Indonesia tersebut, tepatnya sejak 14 Oktober lalu, telah merilis album studio terbarunya – atau yang ke-10 - bertajuk “Zentuary”. Tapi ada yang istimewa dan berbeda kali ini. MoonJune Music yang sebelumnya telah merilis album "Dawai In Paradise" (2013), "Joged Kahyangan" (2013), "Surya Namaskar" (2014) dan "Hasta Karma" (2015) kini menjalin kerja sama dengan label rekaman bergengsi milik gitaris virtuoso dunia, Steve Vai, yakni Favored Nations untuk peredaran global di luar wilayah Indonesia.

”Zentuary” bisa dibilang juga merupakan salah satu pencapaian luar biasa Dewa Budjana sejauh ini. Di sini, ia kembali melibatkan musisi-musisi elit dunia untuk menginterpretasi komposisi garapannya. Sebutlah seperti pembetot bass legendaris Tony Levin (baca juga wawancaranya di edisi ini, Red.), dramer dan kibordis Gary Husband (Level 42, John McLaughlin’s 4Th Dimension), dramer Jack DeJohnette (Miles Davis) serta gitaris virtuoso Guthrie Govan yang menyumbangkan permainan solonya di komposisi berjudul “Suniakala”. Lalu ada pula rombongan Czech Symphony Orchestra yang memperkaya lapisan suara di komposisi “Suniakala” dan “Zentuary”.

Sementara untuk musisi lokal, Dewa juga mengajak Saat Syah untuk memainkan suling di lagu “Crack In The Sky” dan “Dedariku”, lalu vokal Ubiet di nomor “Lake Takengon” dan Risa Saraswati di “Crack In The Sky”.

Selain diedarkan dalam format dua keping cakram padat (CD) dan digital, “Zentuary” juga dikemas dalam tiga piringan hitam atau vinyl 180 gram berkualitas HD 24 bit/96khz master. Semuanya tersedia di pasar dunia maya Amazon cabang Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.

9. Dream Theater - "The Astonishing"

Dream Theater - "The Astonishing"
Tanpa bermaksud meremehkan kemampuan musikal para personel 'the best line up' Dream Theater tersisa; John Petrucci (gitar), John Myung (bass), James LaBrie (vokal), dan Jordan Rudess (kibord). Dream Theater sepertinya memang kehilangan sosok Mike Portnoy. Keinginan dramer yang kini tergabung dalam The Winery Dogs untuk menonaktifkan Dream Theater sejenak lantaran mengalami 'kejenuhan' akibat menjalani rutinitas yang nyaris tidak pernah berubah (menulis lagu, rekaman, tur) selama lebih dari seperempat abad mungkin ada benarnya. Bukti paling absah, terlukis di album terbaru mereka ini. Kendati dari sisi konsep tema lirik begitu kaya dan kreatif. Tapi dari sisi musik, terkesan flat dan monoton.

Menjadi buah bibir di sepanjang akhir tahun 2015 lalu, album yang berkategori 'salah satu paling diantisipasi khalayak metal dunia' ini ternyata tidak bisa membuat seluruh pemuja Dream Theater puas. Padahal, mereka sudah berharap banyak ketika singel pertama "The Gift of Music" dirilis melalui akun YouTube resmi band sejak awal Februari 2016 lalu. Ya, lagu ini begitu catchy, memiliki struktur progresif yang ajaib, part gitar yang elegan, dan ditetesi getaran klasik ala Rush. Tapi begitu albumnya dirilis dalam format kepingan ganda cakra padat, dengan jumlah 34 trek dan durasi 2 jam 10 menit kita hanya menemukan trek berkategori balada akustik yang nyaris seragam. Dengan guyuran komposisi orkestra dan paduan suara asli, sebenarnya sekujur album ini rumit. Tapi, terasa bosan jika didengarkan berulang-ulang.

Ada satu lagu yang mengundang perhatian, yakni "A Life Left Behind" yang ditempatkan di slot ke-13 CD pertama. Tapi bukan karena label ‘epik’ dan ‘antemik’-nya, melainkan kemiripannya dengan lagu "Tempus Fugit" milik Yes dimana line bass John Myung begitu mirip dengan apa yang dihidangkan oleh Chris Squire pada 36 tahun silam. Terinspirasi? Bisa jadi. Tapi kok begitu identik? Hanya mereka yang tahu. Intinya, untuk menemukan trek yang langsung melekat dalam benak kita memang tidaklah gampang. Meskipun durasi lagu-lagunya hanya sekitar empat menitan, tetap butuh waktu lama untuk mencernanya. Meski ujung-ujungnya tetaplah rasa jenuh. Sepertinya Dream Theater harus keluar dari lingkaran 'kewajiban' memproduksi album per dua tahun dan rehat sejenak dari studio rekaman demi menghasilkan album yang lebih fresh.

10. Eross Candra - "Forbidden Knowledge"
Gitaris band pop Sheila On 7 ini akhirnya melepas album solo gitar perdananya di penghujung tahun 2016. Album ini berisi delapan trek dimana satu diantaranya direkam secara live, yakni "bersenang-senang Dengan Gitar Baru". Sedangkan trek lainnya meliputi: "Perkara jakarta", "Forbidden Knowledge", "Brave", "Menyeruak", "Baby Crunch", "Pintu Kecemasan" dan "The More You Change The Less You Fell".

Kemasan CD album ini dibuat unik, dimana di dalamnya menyeruapi sebuah buku catatan kosong yang sengaja disediakan buat para penggemar yang ingin mengomentari lagu-lagu yang bersemayam di dalamnya. Mirip sebuah buku harian, Eross sendiri, di seluruh trek yang diciptakannya menghunakan perangkat perang semisal gitar Squier by Fender, Fender Bassbreaker Amp, Audio-technical Wireless, Cioks Power Pedal dan Fm Arjuna Pedal.

0 comments

Posting Komentar